Langsung ke konten utama

Menolak Rezeki

Setiap menganalisa tanda tangan orang untuk mengetahui luka batinnya, biasanya aku juga semakin banyak dapat insight mengenai diri sendiri. 

Sifat suka menahan diri atau reserved personality yang dulunya kupikir mulia sekali, ternyata merupakan sebuah mental block

Di kala saudara-saudaraku asyik berebut mainan, akunya mengalah, memilih cukup dengan apa yang ada di hadapanku.

Harus bersyukur sama apa yang ada ... Pikirku menghibur diri.

Di kala teman-temanku asyik bergaya dan berfoto ria pakai kamera ponsel, aku yang sebenarnya mau ikutan, tapi malu untuk itu, memilih untuk duduk mematung saja di bangku kelas.

Ah, engga deh, norak, nanti Allah gak suka ... Belaku.

Di kala atasanku suka dengan kinerjaku dan mau mengangkat jabatanku, aku menolak, merasa diri tidak layak.

No, I'm fine with this. Such a burden! Berikan aja ke orang lain yang lebih layak ....

Di kala orang tuaku mau memberikan rezeki dalam jumlah besar, kembali aku menolak.

Enggak, aku dan suami akan berjuang sendiri dari nol untuk mendapatkannya.

Mulia sekali 'kan alasannya?

Lho, tapi kok, rezeki nggak datang-datang, ya?

***

Betapa kagetnya aku begitu tahu bahwa itu ternyata adalah sebuah mental block ... yang berujung pada tindakan menolak rezeki dari Allah.

Ibarat teori "Jendela Buram" dari Magnet Rezeki. Rezeki itu sebenarnya sudah ada di depan mata. Tapi jendelaku terlalu buram untuk melihatnya.

Kenapa buram?

Ya karena aku nggak pernah membersihkannya. Sampai-sampai aku salah mengira, hal yang kupikir mulia, justru ternyata dibenci Allah. 

Aku sudah kufur nikmat, dulu.

***

Alhamdulillah Allah memberi petunjuk untuk mengetahui kekeliruan pola pikirku selama ini. 

Lewat banyak jalan, mulai dari komunitas Magnet Rezeki, Pola Pertolongan Allah, hingga Kelas Afirmasi Online BehinDSign, akhirnya aku tahu, konsep rezeki itu enggak begitu.

Rezeki itu akan mengalir jika kita mendekatkan diri pada Allah, membersihkan sampah-sampah emosi kita, memperbaiki hubungan dengan orang tua, lalu mudah bersyukur atas hal-hal kecil. 

***

Semoga Allah selalu memudahkan kita untuk membersihkan hati dan banyak bersyukur, ya. 

Serta jauh dari sifat yang kita anggap mulia, padahal membawa celaka di akhirat kelak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Kelas Belajar Daring selama Pandemi

Sebagaimana yang kita tahu, pandemi membawa banyak perubahan terhadap gaya hidup masyarakat saat ini, bukan? Mulai dari perilaku sosial yang tadinya gemar berkumpul, kini harus menjaga jarak, kepedulian yang meningkat terhadap kebersihan dan kesehatan, sampai sistem kerja dan sistem belajar yang sebelumnya tatap muka menjadi serba digital. Digitalisasi sistem belajar ini salah satunya memunculkan banyak pelatihan atau kelas belajar secara daring yang mudah diakses oleh siapa pun dan di mana pun ia berada. Aku menjadi salah seorang penikmat fasilitas ini semasa pandemi. Sejak resign dari pekerjaan sebagai dosen dua tahun yang lalu, aku memutuskan bahwa itulah waktu yang tepat untuk mengembangkan potensi terpendam yang kumiliki. Karena selama bertahun-tahun sebelumnya aku tidak punya waktu luang untuk meningkatkan keterampilanku, maka kumanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku tuliskan hal-hal yang ingin kupelajari lebih dalam seperti keterampilan dalam bidang kepenulisan, perencana

Efek Menyembuhkan Luka Batin dan Mental Block

Beberapa orang menanyakan perubahan apa yang saya rasakan setelah beres berdamai dengan luka batin dan mental block lewat program terapi BehinDsign. Hmm ... Baik, saya coba runut, ya .... Dulu, sumbu amarah saya pendek. Ketika anak menjatuhkan remote TV atau menumpahkan air minum, misalnya, amarah saya langsung tersulut. Meskipun tahu dia melakukannya tidak dengan sengaja, tapi kok, berat ya, mau mengerem omelan yang keluar dari mulut ini. Walaupun kesannya saya "bagak" (bernyali) di hadapan anak, tapi di hadapan orang lain di luar rumah, nyali saya ciut, apalagi kalau sudah berhadapan sama orang yang penuh amarah. Kalau sudah berurusan dengan supir travel atau kurir yang ingin mengantarkan paket ke rumah, beberapa kali saya serahkan urusan menjelaskan rute menuju rumah ke suami. Kok gitu? Iya, dulu, beberapa kali kejadian, kalau engga saya yang frustasi, kurirnya yang marah-marah. Akhirnya, setiap ada situasi serupa, saya sudah keburu berprasangka akan makan hati lagi sehing

Terapi Mental Block melalui Analisa Tanda Tangan

27 November 2021 yang lalu saya mendaftar ke program Terapi 30 Hari behinDsign karena terdorong oleh persoalan anak. Anak saya yang berusia hampir 6 tahun saat itu setiap hari mengeluh karena merasa tidak diterima oleh teman-teman sekelasnya. Awalnya saya bisa menghadapinya dengan kepala dingin ya, tapi, karena keluhannya terus berulang setiap hari, saya sendiri yang jadi cranky. Saya malah balik memarahi anak karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Harap jangan ditiru, ya. ☹️ Jujur, ini sangat menguras emosi saya karena sebenarnya apa yang anak saya alami merupakan persoalan diri saya juga sepanjang waktu sejak saya masuk bangku sekolah hingga ke dunia kerja. Saya tidak pernah tahu bagaimana cara mengatasinya. Makanya ketika ia menceritakan hal tersebut, saya bukannya memberikan nasehat bijak untuk menenangkan perasaannya, saya justru meledak, melampiaskan kekesalan saya, karena ia seolah membuka kembali luka-luka yang sudah lama saya kubur. Kalau diingat-ingat lagi ... Du