Langsung ke konten utama

🍂 Kamu Tipe SECURE atau INSECURE? 🍂

Bagaimana mungkin kamu berharap orang lain dapat mencintaimu bila kamu tidak mampu mencintai dirimu sendiri?

Bagaimana pula kamu dapat mencintai dirimu sendiri bila semasa kecil kamu tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tuamu?


🍂

Kawan, hal ini ibarat LINGKARAN SETAN. Jika kita merasa secure dengan kasih sayang orang tua saat kecil, maka nantinya kita juga akan merasa secure dengan lawan jenis yang menjadi pasangan kita. 

Sebaliknya, jika kita merasa insecure dengan kasih sayang orang tua saat kecil, maka nantinya kita akan merasa insecure pula dengan pasangan.

🍂 

Setiap orang dewasa yang berada dalam sebuah hubungan setidaknya memiliki 1 dari 3 tipe kelekatan berikut:

1. SECURE
Orang yang mampu memiliki hubungan yang hangat, intim, dan sehat dengan pasangannya. 

2. ANXIOUS
Orang yang mudah khawatir dengan hubungannya. Ia suka merasa dirinya kurang bagi pasangannya. Ia pun selalu mempertanyakan apakah pasangannya mencintainya.  

Kecemasan ini tak jarang akan mengganggu aktivitas sehari-harinya, lho. Bisa saja ia jadi lalai saat bekerja dan menghindari interaksi sosial dengan orang lain demi pasangannya.

3. AVOIDANT
Orang yang takut dengan hubungan yang intim, namun tidak mau melepaskan pasangannya sehingga suka tarik-ulur dalam berhubungan.

Bila merasa hubungan dengan pasangannya sedang menjauh, ia akan mencurahkan perhatian yang banyak. Namun, bila merasa hubungan sedang terlalu intim, ia akan menjauh dengan berbagai cara, termasuk menyakiti pasangannya. Ini yang biasanya kita kenal sebagai pasangan TOXIC.

Ada pula tipe gabungan dari anxious dan avoidant, namun ini jarang sekali ditemukan.

🍂

Bila kita perhatikan, kombinasi pasangan yang paling menyedihkan itu adalah bila tipe anxious bertemu dengan tipe avoidant, bukan?

Sayangnya, biasanya memang inilah yang terjadi. Orang dengan tipe secure hanya akan merasa tertarik dengan tipe secure lainnya. Sementara orang dengan tipe anxious justru akan merasa tertarik dengan tipe avoidant dan begitu pula sebaliknya. 

🍂

Nah, pola asuh orang tua yang bagaimana sih yang memengaruhi tipe kelekatan anaknya dengan pasangan saat dewasa? 

Untuk sama-sama kita pahami, pola asuh yang kita bahas di sini adalah yang terjadi saat usia anak DI BAWAH 7 TAHUN, ya. Yaitu ketika otak anak belum masuk ke tahap perkembangan konkrit-operasional atau belum dapat berpikir logis.

Selain itu, orang tua yang dimaksud adalah sosok yang menjadi pengasuh anak di usia tersebut. Bisa jadi bukan orang tua kandung, melainkan kakek dan neneknya, paman dan bibinya, atau bahkan pengasuh yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan.

🍂

Anak yang memiliki orang tua yang PEKA terhadap kebutuhannya, MUDAH DITEMUI saat ia menginginkan, serta RESPONSIF, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang secure.

Anak yang orang tuanya TIDAK KONSISTEN dalam merespon kebutuhannya--kadang merespon, kadang tidak–akan tumbuh menjadi orang dewasa yang anxious. Dia akan selalu bertanya-tanya apakah sesungguhnya orang tuanya mencintainya sehingga selalu merasa dirinya tidak cukup untuk dicintai.

Sementara anak yang memiliki orang tua yang suka MENJAGA JARAK, KAKU, dan TIDAK RESPONSIF, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang avoidant. Ia akan menjauhi hubungan intim untuk melindungi dirinya dari rasa sakit hati, sebab orang tuanya sendiri tidak mencintainya.

🍂

Jadi, bagi kita yang memiliki anak atau sedang menantikan seorang anak, cobalah menghindari pola asuh yang membuat anak menjadi insecure agar dapat melindungi pernikahannya kelak serta menyelamatkan diri kita pula di akhirat dari DOSA JARIYAH.

Sementara bagi kamu yang sedang mencari pasangan, ada baiknya belajar mengenal diri, mencintai diri, dan MEMAAFKAN kesalahan orang tua di masa lalu.

Banyaklah juga berdoa supaya Allah memberikan kemudahan sehingga kamu bisa menjadi pribadi yang secure dan bertemu dengan pasangan yang secure pula.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Kelas Belajar Daring selama Pandemi

Sebagaimana yang kita tahu, pandemi membawa banyak perubahan terhadap gaya hidup masyarakat saat ini, bukan? Mulai dari perilaku sosial yang tadinya gemar berkumpul, kini harus menjaga jarak, kepedulian yang meningkat terhadap kebersihan dan kesehatan, sampai sistem kerja dan sistem belajar yang sebelumnya tatap muka menjadi serba digital. Digitalisasi sistem belajar ini salah satunya memunculkan banyak pelatihan atau kelas belajar secara daring yang mudah diakses oleh siapa pun dan di mana pun ia berada. Aku menjadi salah seorang penikmat fasilitas ini semasa pandemi. Sejak resign dari pekerjaan sebagai dosen dua tahun yang lalu, aku memutuskan bahwa itulah waktu yang tepat untuk mengembangkan potensi terpendam yang kumiliki. Karena selama bertahun-tahun sebelumnya aku tidak punya waktu luang untuk meningkatkan keterampilanku, maka kumanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku tuliskan hal-hal yang ingin kupelajari lebih dalam seperti keterampilan dalam bidang kepenulisan, perencana

Efek Menyembuhkan Luka Batin dan Mental Block

Beberapa orang menanyakan perubahan apa yang saya rasakan setelah beres berdamai dengan luka batin dan mental block lewat program terapi BehinDsign. Hmm ... Baik, saya coba runut, ya .... Dulu, sumbu amarah saya pendek. Ketika anak menjatuhkan remote TV atau menumpahkan air minum, misalnya, amarah saya langsung tersulut. Meskipun tahu dia melakukannya tidak dengan sengaja, tapi kok, berat ya, mau mengerem omelan yang keluar dari mulut ini. Walaupun kesannya saya "bagak" (bernyali) di hadapan anak, tapi di hadapan orang lain di luar rumah, nyali saya ciut, apalagi kalau sudah berhadapan sama orang yang penuh amarah. Kalau sudah berurusan dengan supir travel atau kurir yang ingin mengantarkan paket ke rumah, beberapa kali saya serahkan urusan menjelaskan rute menuju rumah ke suami. Kok gitu? Iya, dulu, beberapa kali kejadian, kalau engga saya yang frustasi, kurirnya yang marah-marah. Akhirnya, setiap ada situasi serupa, saya sudah keburu berprasangka akan makan hati lagi sehing

Terapi Mental Block melalui Analisa Tanda Tangan

27 November 2021 yang lalu saya mendaftar ke program Terapi 30 Hari behinDsign karena terdorong oleh persoalan anak. Anak saya yang berusia hampir 6 tahun saat itu setiap hari mengeluh karena merasa tidak diterima oleh teman-teman sekelasnya. Awalnya saya bisa menghadapinya dengan kepala dingin ya, tapi, karena keluhannya terus berulang setiap hari, saya sendiri yang jadi cranky. Saya malah balik memarahi anak karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Harap jangan ditiru, ya. ☹️ Jujur, ini sangat menguras emosi saya karena sebenarnya apa yang anak saya alami merupakan persoalan diri saya juga sepanjang waktu sejak saya masuk bangku sekolah hingga ke dunia kerja. Saya tidak pernah tahu bagaimana cara mengatasinya. Makanya ketika ia menceritakan hal tersebut, saya bukannya memberikan nasehat bijak untuk menenangkan perasaannya, saya justru meledak, melampiaskan kekesalan saya, karena ia seolah membuka kembali luka-luka yang sudah lama saya kubur. Kalau diingat-ingat lagi ... Du