Langsung ke konten utama

Belajar Melihat Kebaikan Suami (2)

Sejak membiasakan diri menulis jurnal syukur dan melakukan terapi luka batin secara rutin, alhamdulilah Allah memudahkan lisanku untuk senantiasa mengucap syukur. Setiap hari, setiap pekan, setiap bulan, ada saja rezeki yang datang menghampiriku. Tidak hanya berupa materi, rezeki yang kuterima juga berupa hubunganku yang semakin harmonis bersama orang-orang terdekat, khususnya suami.

Pagi ini, bukan hari Sabtu biasa. Aku dan Bang Yuki (suami) sudah menjadwalkan kegiatan untuk perawatan diri bersama, yaitu melakukan facial. Perawatan facial ini sebenarnya tak lazim ya dilakukan oleh para laki-laki di keluargaku. Pertama kalinya aku tahu ada laki-laki yang mau merawat wajah ke salon selain artis atau para metroseksual lainnya, ya, sama suamiku ini. Meskipun tidak termasuk ke dalam dua golongan tadi, Bang Yuki yang macho dan berwajah sangar ini sangat peduli dengan penampilan.

Dulu, di awal masa menikah, beberapa kali memang kami pergi untuk facial bersama. Kebetulan di dekat rumah memang ada spa yang bisa menerima klien pasangan suami-istri. Kalau kami ke sana, staf spa setempat akan memberikan satu ruangan dengan dua tempat tidur. Jadi, kami bisa sama-sama mendapatkan perawatan sambil ngobrol, persis seperti nyonya-nyonya pejabat di film-film Korea yang suka ngerumpi di spa gitu.

Namun, sejak Sofie lahir, hobi kami ini mau tak mau harus ditinggalkan. Perawatan facial biasanya memakan waktu cukup lama. Kami merasa tidak enak kalau harus menitipkan Sofie ke mertua, sementara kami berlama-lama memanjakan diri di spa. Selama 6 tahun terakhir, mungkin kami hanya bisa 1-2 kali melakukan kegiatan ini.

Berhubung di hari ini rencana facial bersama Bang Yuki mungkin untuk dilakukan, setelah menitipkan Sofie ke mama mertua (yang rupanya merespon senang kegiatan Abang ini), kami pun meluncur ke tempat perawatan. Karena spa langganan kami sudah pindah setahun yang lalu, Bang Yuki mengajakku ke sebuah tempat baru yang direkomendasikan oleh temannya. Kupikir, tempat ini berupa salon atau spa seperti biasanya. Ternyata, tebakanku salah.

Kami berhenti di depan sebuah gedung yang luar biasa penuh parkirannya. Karena tampak ramai, Bang Yuki memintaku masuk duluan sekadar untuk menanyakan berapa lama antriannya. Aku pun masuk. Niat hati mau bertanya ke resepsionis, eh, aku kaget karena justru disambut oleh seorang satpam yang memberikan nomor antrian untuk menemui resepsionis. Saat mencari tempat duduk, aku pun terpana dengan desain interior ruangannya yang mewah dan putih bersih layaknya sebuah bank ... bukan, bahkan, lebih indah daripada bank. Para pelanggan lainnya berbusana modis. Mereka duduk manis di sofa-sofa putih dan abu-abu besar yang sangat nyaman sambil menunggu giliran. 

Lho, ini tempat facial, kan??

Keherananku semakin bertambah tatkala staf resepsionis meminta KTP dan biodata-ku untuk mendata pelanggan. 

Lho, aku 'kan cuma mau facial .... Memang, perlu ya tempat ini tahu alamat rumah, pekerjaan, sampai apa pendidikan terakhirku?

Aneh!

Ketika sang resepsionis menanyakan apakah aku dan suami mau dirawat oleh dokter yang sama, barulah aku paham kalau ini bukan spa ataupun salon, melainkan klinik kecantikan. Hahahaha ....

Sambil menunggu giliran bertemu dokter, aku mengecek akun Instagram klinik kecantikan ini. Masya Allah, rupanya ini cabang dari klinik kecantikan besar di Jakarta yang dipromosikan banyak artis ternama ibukota. Perawatan yang mereka sediakan pun tidak main-main. Mulai dari facial, peeling, botox, laser wajah, suntik untuk menghancurkan lemak, sampai program menurunkan berat badan. Wow!

Dengan perawatan dan teknologi yang bukan main itu, tentunya tarif jasa di klinik kecantikan ini juga bukan main, ya. Aku yang dulu biasanya menghindari tempat seperti ini karena merasa belum pantas berada di dalamnya, termenung melihat daftar harga perawatannya. Perawatan paling murah adalah facial biasa yang hanya seratus ribu rupiah. Selebihnya, sudah mencapai angka ratusan ribu hingga puluhan juta.

"Bang, Abang ngerasa layak nggak sih ada di sini?" tanyaku ke suami yang kini sudah duduk di sampingku.

Ia terdiam sejenak. Mungkin merasa salah tempat seperti diriku. Hahaha ....

"Pantaslah. Masa' enggak?"

Aku pun menjelaskan kegelisahan yang kurasakan dari tadi kepadanya. Sampai akhirnya ia menimpali,

"Tari, dengar, ya. Kalau untuk perawatan wajah, Abang enggak akan membatasi budget kamu. Udah berapa tahun kamu nggak perawatan wajah? Kalau ada uang nganggur, katakanlah sejuta, pakailah buat perawatan wajah kamu. Gak masalah buat abang."

Jleb! 

Mataku menghangat mendengar kata-katanya barusan. Terharu! Di saat beberapa kali aku membaca keluhan para istri karena suaminya tidak memberikan uang untuk perawatan wajah, di sini aku justru mendapatkan suami yang bersikap sebaliknya. 

"Ya Allah, Abang ... Semoga Allah tambah rezeki Abang, yaa ...." ujarku berkaca-kaca.

Alhamdulillah, berkat tuntas mengikhlaskan luka batin di masa laluku, semakin hari Allah semakin mudahkan aku untuk melihat kebaikan dalam diri suami. Masya Allah ....

Sepulangnya dari klinik tersebut, aku sempatkan diri untuk menerapi kegelisahanku tadi. Rasa tidak layak mendapatkan fasilitas sebenarnya adalah keputusan dari alam bawah sadar kita untuk memilih hidup miskin. Karena uang adalah energi, maka kehadiran uang juga akan mengikuti keselarasan pikiran, perasaan, dan perkataan. Saat hati kita merasa tidak layak menggunakan suatu fasilitas mewah, artinya secara tidak sadar hati kita memilih hidup miskin. Namun, bila di saat bersamaan lisan kita berkata ingin kaya atau pikiran fokus untuk mendapatkan kekayaan, di sinilah terjadi ketidakselarasan antara pikiran, perasaan, dan perkataan. Pada akhirnya, uang pun enggan datang dan kekayaan pun sulit terwujud.

Jangan sampai hal ini terjadi pada diri kita, ya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Kelas Belajar Daring selama Pandemi

Sebagaimana yang kita tahu, pandemi membawa banyak perubahan terhadap gaya hidup masyarakat saat ini, bukan? Mulai dari perilaku sosial yang tadinya gemar berkumpul, kini harus menjaga jarak, kepedulian yang meningkat terhadap kebersihan dan kesehatan, sampai sistem kerja dan sistem belajar yang sebelumnya tatap muka menjadi serba digital. Digitalisasi sistem belajar ini salah satunya memunculkan banyak pelatihan atau kelas belajar secara daring yang mudah diakses oleh siapa pun dan di mana pun ia berada. Aku menjadi salah seorang penikmat fasilitas ini semasa pandemi. Sejak resign dari pekerjaan sebagai dosen dua tahun yang lalu, aku memutuskan bahwa itulah waktu yang tepat untuk mengembangkan potensi terpendam yang kumiliki. Karena selama bertahun-tahun sebelumnya aku tidak punya waktu luang untuk meningkatkan keterampilanku, maka kumanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku tuliskan hal-hal yang ingin kupelajari lebih dalam seperti keterampilan dalam bidang kepenulisan, perencana...

Efek Menyembuhkan Luka Batin dan Mental Block

Beberapa orang menanyakan perubahan apa yang saya rasakan setelah beres berdamai dengan luka batin dan mental block lewat program terapi BehinDsign. Hmm ... Baik, saya coba runut, ya .... Dulu, sumbu amarah saya pendek. Ketika anak menjatuhkan remote TV atau menumpahkan air minum, misalnya, amarah saya langsung tersulut. Meskipun tahu dia melakukannya tidak dengan sengaja, tapi kok, berat ya, mau mengerem omelan yang keluar dari mulut ini. Walaupun kesannya saya "bagak" (bernyali) di hadapan anak, tapi di hadapan orang lain di luar rumah, nyali saya ciut, apalagi kalau sudah berhadapan sama orang yang penuh amarah. Kalau sudah berurusan dengan supir travel atau kurir yang ingin mengantarkan paket ke rumah, beberapa kali saya serahkan urusan menjelaskan rute menuju rumah ke suami. Kok gitu? Iya, dulu, beberapa kali kejadian, kalau engga saya yang frustasi, kurirnya yang marah-marah. Akhirnya, setiap ada situasi serupa, saya sudah keburu berprasangka akan makan hati lagi sehing...

Terapi Mental Block melalui Analisa Tanda Tangan

27 November 2021 yang lalu saya mendaftar ke program Terapi 30 Hari behinDsign karena terdorong oleh persoalan anak. Anak saya yang berusia hampir 6 tahun saat itu setiap hari mengeluh karena merasa tidak diterima oleh teman-teman sekelasnya. Awalnya saya bisa menghadapinya dengan kepala dingin ya, tapi, karena keluhannya terus berulang setiap hari, saya sendiri yang jadi cranky. Saya malah balik memarahi anak karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Harap jangan ditiru, ya. ☹️ Jujur, ini sangat menguras emosi saya karena sebenarnya apa yang anak saya alami merupakan persoalan diri saya juga sepanjang waktu sejak saya masuk bangku sekolah hingga ke dunia kerja. Saya tidak pernah tahu bagaimana cara mengatasinya. Makanya ketika ia menceritakan hal tersebut, saya bukannya memberikan nasehat bijak untuk menenangkan perasaannya, saya justru meledak, melampiaskan kekesalan saya, karena ia seolah membuka kembali luka-luka yang sudah lama saya kubur. Kalau diingat-ingat lagi ... Du...