Langsung ke konten utama

Kok Bisa Menemukan Luka Batin dari Tanda Tangan?

Dr. Bruce Lipton, seorang ahli biologi dari Amerika, mengemukakan bahwa tujuh tahun pertama usia kehidupan kita menentukan kesuksesan seperti apa yang akan kita raih di masa depan maupun keterbatasan apa yang akan menghambat diri kita di masa depan. Penemuannya ini menjadi landasan konsep dalam Program Terapi BehinDsign bahwa luka batin pun terbentuk pada rentang usia tersebut. Pengalaman anak yang tidak menyenangkan akan terserap ke dalam pikiran bawah sadarnya dan dapat mengontrol segala keputusannya di masa depan.

Seingat saya, di salah satu pelatihan NLP yang pernah saya ikuti, sang trainer juga menjelaskan bahwa pikiran sadar kita sebenarnya hanya punya 5% kendali atas diri kita. Sementara itu, pikiran bawah sadar justru mampu mengendalikan 95% dari segala perbuatan kita. Makanya, luar biasa ya, jika kita bisa mengakses pikiran bawah sadar dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas hidup kita.

Nah, saat menganalisa tanda tangan orang lain untuk menemukan sumber mental block-nya, beberapa kali saya menemukan hubungan sebab-akibat yang menarik antara masa lalu seseorang dengan realita yang ia hadapi saat ini. 

Ada seorang perempuan, sebutlah namanya Anis (bukan nama sebenarnya), yang di masa kecilnya merasa selalu kalah bersaing dengan adik perempuannya dalam mendapatkan perhatian ibu mereka. Ketika tumbuh sedikit lebih besar dan lebih bijak, Anis pun mencoba "menghibur" dirinya dengan berulang kali mengatakan, 

"tidak perlulah aku memaksakan diri bersaing dengan adik ...."

"sudahlah, apa yang aku punya ini saja sudah cukup .... Tidak usah berharap lebih ...."

... atau kalimat-kalimat lain yang senada dengan itu. Intinya, Anis memprogram dirinya menjadi seorang perempuan yang minder terhadap kemampuan dirinya sendiri serta tidak layak mendapatkan hal-hal yang sangat baik yang sebenarnya bisa ia dapatkan.

Akhirnya, Anis pun memilih berteman dengan anak-anak yang tidak lebih percaya diri daripada dirinya. Anis minder jika berhadapan dengan teman yang terlihat percaya diri dan berbahagia.

Ketika memilih pekerjaan, Anis juga merasa nyaman dengan pekerjaan yang memiliki lingkup tanggung jawab yang kecil. Pekerjaan seperti itu tidak akan mengharuskan dirinya bertemu dengan pihak-pihak yang memiliki otoritas. Bukankah orang-orang yang memiliki otoritas biasanya punya kharisma dan kepercayaan diri yang kuat?

Jadi, meskipun Anis memiliki gelar pendidikan yang tinggi, berprestasi saat di bangku pendidikan, dan mampu berperforma dengan sangat baik di pekerjaannya, begitu atasannya mempromosikan jabatannya, Anis justru menolak. Ia bahkan memilih resign dari pekerjaan tersebut.

Ada lagi kisah Bima (lagi-lagi, bukan nama sebenarnya), si anak tengah, yang sedari kecil merasa orang tuanya lebih menyayangi kakak dan adiknya ketimbang dirinya sendiri. Bima kecil secara tidak sadar membentuk program prasangka sebagai orang yang senantiasa terabaikan. Maka, ketika memilih pasangan hidup, Bima akan merasa klop begitu saja dengan perempuan yang punya potensi mengabaikannya. 

Selama bertahun-tahun menikah, Bima kerap merasa bahwa istrinya kurang menghormati dirinya sebagai kepala rumah tangga. Meskipun Bima sudah bekerja sangat jauh dari rumah untuk menafkahi keluarga, ia tetap tidak merasakan penghargaan dari istrinya. Sebaliknya, ketika berusaha menasihati, sang istri justru bersikap defensif dan melawan Bima. Bima seolah menjadi suami yang diabaikan, bukan?

Masih ada pula kisah Chika yang sudah berkali-kali hamil namun selalu keguguran. Setelah saya telusuri, rupanya ia memendam keinginan untuk diperhatikan oleh ibunya sejak kecil. Dengan berkali-kali bolak-balik ke rumah sakit, ibunya memang kemudian jadi selalu perhatian dengan dirinya. 

Secara sadar Chika ingin memiliki anak, tetapi secara tak sadar, keinginannya untuk diperhatikan sang ibu justru mendatangkan kejadian keguguran berulang-ulang agar sang ibu lebih fokus kepada dirinya.

Merasa diri tidak layak, merasa terabaikan, dan merasa kurang disayangi merupakan beberapa contoh mental block. Mental block ini berasal dari luka batin di masa lalu yang tidak ingin diingat, tetapi sebenarnya punya kendali luar biasa besar dalam setiap keputusan kita.

Bila luka batin saja berpengaruh dalam keputusan-keputusan besar seperti cara kita memilih teman, pekerjaan, dan pasangan, hingga dapat menentukan kondisi kesehatan kita saat ini, maka tidak heran 'kan ya, jika luka batin pun bisa berpengaruh terhadap keputusan kecil, seperti cara kita menulis tanda tangan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Kelas Belajar Daring selama Pandemi

Sebagaimana yang kita tahu, pandemi membawa banyak perubahan terhadap gaya hidup masyarakat saat ini, bukan? Mulai dari perilaku sosial yang tadinya gemar berkumpul, kini harus menjaga jarak, kepedulian yang meningkat terhadap kebersihan dan kesehatan, sampai sistem kerja dan sistem belajar yang sebelumnya tatap muka menjadi serba digital. Digitalisasi sistem belajar ini salah satunya memunculkan banyak pelatihan atau kelas belajar secara daring yang mudah diakses oleh siapa pun dan di mana pun ia berada. Aku menjadi salah seorang penikmat fasilitas ini semasa pandemi. Sejak resign dari pekerjaan sebagai dosen dua tahun yang lalu, aku memutuskan bahwa itulah waktu yang tepat untuk mengembangkan potensi terpendam yang kumiliki. Karena selama bertahun-tahun sebelumnya aku tidak punya waktu luang untuk meningkatkan keterampilanku, maka kumanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku tuliskan hal-hal yang ingin kupelajari lebih dalam seperti keterampilan dalam bidang kepenulisan, perencana...

Efek Menyembuhkan Luka Batin dan Mental Block

Beberapa orang menanyakan perubahan apa yang saya rasakan setelah beres berdamai dengan luka batin dan mental block lewat program terapi BehinDsign. Hmm ... Baik, saya coba runut, ya .... Dulu, sumbu amarah saya pendek. Ketika anak menjatuhkan remote TV atau menumpahkan air minum, misalnya, amarah saya langsung tersulut. Meskipun tahu dia melakukannya tidak dengan sengaja, tapi kok, berat ya, mau mengerem omelan yang keluar dari mulut ini. Walaupun kesannya saya "bagak" (bernyali) di hadapan anak, tapi di hadapan orang lain di luar rumah, nyali saya ciut, apalagi kalau sudah berhadapan sama orang yang penuh amarah. Kalau sudah berurusan dengan supir travel atau kurir yang ingin mengantarkan paket ke rumah, beberapa kali saya serahkan urusan menjelaskan rute menuju rumah ke suami. Kok gitu? Iya, dulu, beberapa kali kejadian, kalau engga saya yang frustasi, kurirnya yang marah-marah. Akhirnya, setiap ada situasi serupa, saya sudah keburu berprasangka akan makan hati lagi sehing...

Terapi Mental Block melalui Analisa Tanda Tangan

27 November 2021 yang lalu saya mendaftar ke program Terapi 30 Hari behinDsign karena terdorong oleh persoalan anak. Anak saya yang berusia hampir 6 tahun saat itu setiap hari mengeluh karena merasa tidak diterima oleh teman-teman sekelasnya. Awalnya saya bisa menghadapinya dengan kepala dingin ya, tapi, karena keluhannya terus berulang setiap hari, saya sendiri yang jadi cranky. Saya malah balik memarahi anak karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Harap jangan ditiru, ya. ☹️ Jujur, ini sangat menguras emosi saya karena sebenarnya apa yang anak saya alami merupakan persoalan diri saya juga sepanjang waktu sejak saya masuk bangku sekolah hingga ke dunia kerja. Saya tidak pernah tahu bagaimana cara mengatasinya. Makanya ketika ia menceritakan hal tersebut, saya bukannya memberikan nasehat bijak untuk menenangkan perasaannya, saya justru meledak, melampiaskan kekesalan saya, karena ia seolah membuka kembali luka-luka yang sudah lama saya kubur. Kalau diingat-ingat lagi ... Du...